Nama : Rina Wahyuni
Kelas : 2eb22
Npm : 25210973
1. Hukum Perikatan
A.
Pengertian
B.
Dasar Hukum
C.
Azas Azas
D.
WanPrestasi
A. Pengertian
Perikatan
adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam
harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya
wajib memenuhi prestasi itu. Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur
perikatan ada empat, yaitu :
1.
Hubungan hukum ;
2.
Kekayaan ;
3.
Pihak-pihak, dan
4.
Prestasi.
Apakah
maksudnya? Maksudnya ialah terhadap hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat,
hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak
lainnya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi,
lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan. Untuk
menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran-
ukuran (kriteria) tertentu. Hak perseorangan adalah hak untuk menuntut prestasi
dari orang tertentu, sedangkan hak kebendaan adalah hak yang dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Intisari dari perbedaan ini ialah hak
perseorangan adalah suatu hak terhadap seseorang, hak kebendaan adalah hak
suatu benda. Dulu orang berpendapat bahwa hak perseorangan bertentangan dengan
hak kebendaan. Akan tetapi didalam perkembangannya, hak itu tidak lagi
berlawanan, kadang- kadang bergandengan, misalnya jual- beli tidak memutuskan
sewa (pasal 1576 KUH Perdata).
B. Dasar Hukum
Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi
lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal
ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen
toedoen)
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja
adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104
KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang
lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat
perbuatan manusia
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
C. Azas Azas
1. Asas konsesus (pasal 1320 ayat 1)
Perikatan tidak boleh terjadi atas paksaan dan penipuan, tetapi kesepakatan.
2. Asas Kebebasan berkontrak
(pasal 1338 ayat 1)
Bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian apa
saja asal tidak bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Artinya asas kebebasan tidak berlaku absolute.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat sah dan berlaku sebagai
UU bagi yang membuatnya. (bagi pihak yang tidak mematuhinya, pihak lain dapat
menuntut)
D. WanPrestasi
wujud
dari tidak memenuhi perikatan itu ada tiga macam, yaitu :
-
Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan;
-
Debitur terlambat memenuhi perikatan;
-
Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Dalam
kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan karena
ketika mengadakan perjanjian pihak- pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan
perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk melaksanakan prestasi
ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya. Pernyataan Lalai
(ingebreke stelling) Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya
perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga
yang dideritanya. Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang- undang
menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan
lalai (ingebreke stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan
upaya hukum untuk sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar
janji” (pasal 1238 KUH Perdata). “ yang berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demikian perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa
siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”
(pasal 1238 KUH Perdata) Bentuk- bentuk pernyataan lalai bermacam- macam, dapat
dengan :
1. Surat Perintah (bevel)
yang dimaksud dengan surat perintah ( bevel)
adalah exploit juru sita. Exploit adalah perintah lisan yang disampaikan juru
sita kepada debitur. Didalam praktek, yang ditafsirkan dengan exploit ini
adalah “salinan surat peringatan” yang berisi perintah tadi, yang ditinggalkan
juru sita pada debitur yang menerima peringatan. Jadi bukan perintah lisannya
padahal “turunan” surat itu tadi adalah sekunder.
2. Akta Sejenis (soortgelijke akte)
Membaca kata- kata akta sejenis, maka kita
mendapat kesan bahwa yang dimaksud dengan akta itu ialah akta atentik yang
sejenis dengan exploit juru sita.
3. Demi Perikatan Sendiri
Perikatan mungkin terjadi apabila pihak-
pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur didalam
suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu. Secara
teoritis suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu,
keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.
Referensi
:
tidakdijual.com/content/hukum-perikatan-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar