Selasa, 13 Maret 2012

Tulisan 1

Nama       : Rina Wahyuni
Kelas       : 2eb22
Npm        : 25210973

PENGGOLONGAN HUKUM

Para ahli hukum mengalami kesulitan pada saat membuat pengertian hukum yang singkat dan meliputi berbagai hal. Ini dikarenakan kompleksnya hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Untuk memudahkan dalam membedakan hukum yang satu dengan yang lainnya,C.S.T. Kansil, membuat penggolongan hukum seperti berikut :

A.Menurut Sumbernya :

1) Hukum undang-undang; yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
2) Hukum kebiasaan (adat); yaitu hukum yang terletak di dalam peraturan-peraturan kebiasaan (adat)
3) Hukum traktat (perjanjian), yaitu hukum yang ditetapkan oleh Negara-negara dalam suatu perjanjian antar Negara.
4)Hukum Yurisprudensi; yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim.

B. Menurut Bentuknya :

1) Hukum Tertulis; hukum yang dicantumkan dalam berbagai peraturan.
2) Hukum Tidak Tertulis; hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis, namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan. Hukum tidak tertulis disebut juga sebagai suatu kebiasaan.

C. Menurut Tempat Berlakunya (ruang) :

1) Hukum Nasional; hukum yang berlaku dalam suatu Negara.
2) Hukum Internasional; hukum yang mengatur hubungan hukum dalam dunia internasional.
3) Hukum Gereja; kumpulan norma-norma yang ditetapkan.
4) Hukum Asing; hukum yang berlaku dalam Negara lain.

D. Menurut Waktu Berlakunya :

1) Ius Constitutium (Hukum positif/berlaku sekarang); hukum yang berlaku sekarang bagi masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu (hukum yang berlaku dalam masyarakat pada suatu waktu, dalam suatu tempat tertentu).
2) Ius Constituendum (berlaku masa lalu); hukum yang diharapkan berlaku pada waktu yang akan datang.
3) Antar Waktu (hukum asasi/hukum alam); hukum yang berlaku dimana-mana dalam segala waktu dan untuk segala bangsa di dunia. Hukum ini tak mengenal batas waktu melainkan berlaku untuk selama-lamanya (abadi) terhadap siapapun juga di seluruh tempat.

E. Menurut Cara Mempertahankannya (Tugas&Fungsi):

1) Hukum Materil (KUH Perdata, KUH Pidana, KUH Dagang).
2) Hukum Formal (Pidana Formal, Perdata Formal).

F. Menurut Sifatnya :

1) Hukum Memakasa (imperative); hukum yang dalam keadaan bagaimana pun juga harus dan mempunyai paksaan mutlak.
2) Hukum Mengatur (fakultatif/pelengkap); hukum yang dapat di kesampingkan apabila pihak-pihak yang bersangkutan telah membuat peraturan sendiri dalam suatu perjanjian.

G. Menurut Isinya :

1) Hukum Privat/Perdata (hukum pribadi, hukum kekayaan, hukum waris)
2) Hukum Publik (Hukum tata Negara, hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara, hukum internasional)

H.  Menurut Pribadi :

1) Hukum Satu Golongan
2) Hukum Semua Golongan
3) Hukum Antar Golongan.

I.  Menurut Wujudnya :

1) Hukum Objektif; hukum dalam suatu Negara yang berlaku umum dan tidak mengenai orang atau golongan tertentu.
2) Hukum Subjektif; Hukum yang timbul dari hukum objektif dan berlaku terhadap seorang tertentu atau lebih. Hukum subjektif disebut juga hak.

PERBUATAN YANG SESUAI DAN BERTENTANGAN DENGAN HUKUM

Perbuatan Yang Sesuai Dengan Hukum.
Dalam Negara hukum, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945, kedudukan kita semua sama di muka hukum. Artinya hukum memberi perlindungan yang sama terhadap hak dan kewajiban yang kita miliki.
Hak dan kewajiban yang dilindungi dan diatur oleh hukum itu antara lain mengenai :
  1. Diri dan keluarga kita
  2. Harta benda kita
  3. Nama baik Kita
  4. Kesempatan kita mencari nafkah secara halal.
  5. Kesempatan kita beribadah
  6. Kesempatan kita mendapatkan pendidikan.
  7. kesempatan kita memperoleh keadilan.
Karena kita hidup dalam Negara hukum, maka dalam memperoleh hak dan kewajiban tersebut haruslah pula berdasarkan hukum. Apabila kita semua dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat bersedia denga suka rela mematuhi hukum, maka kehidupan bernegara dan bermasyarakat menjadi aman dan tentram. Perbuatan yang selalu mematuhi dari berbagai ketentuan hukum, baik hukum tertulis atau tidak tertulis sehingga masyarakat menjadi tertib.
  
Perbuatan Yang Bertentangan Dengan Hukum
Perbuatan yang melanggar ketentuan hukum yang ada sehingga mengakibatkan kerugian pada seseorang atau membuat keresahan masyarakat yang lainnya. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka hukum harus ditegakkan. Untuk itu, Negara telah memberi wewenang khusus kepada petugas tertentu, yang disebut penegak hukum, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat hukum (pengacara). Jadi, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, kita tidak boleh bertindak sendiri untuk menegakkan hukum, dengan cara “main hakim sendiri”.

PENERAPAN NILAI DAN NORMA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Setiap warga Negara Indonesia harus selalu sadar dan taat kepada hukum, dan Negara berkewajiban untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum. Penerapan nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dengan nilai kepribadian dan keadilan. Kebenaran dan keadilan harus dibina ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara layak dan benar dengan berdasarkan pada norma agama, kesusilaan, masyarakat, adat dan norma hukum.
Tugas kita dalam penegakan hukum adalah membantu para penegak hukum dalam melindungi hak dan kewajiban kita. Cara kita membantu para penegak hukum, umpamanya segera melaporkan kepada polisi apabila kita mengetahui terjadinya suatu kejahatan. Selain itu, umpamanya kita diminta keterangan sebagai saksi, maka berikanlah keterangan yang benar apa yang kita lihat, dengar, dan ketahi saja, janganlah menambahkan atau mengurangi keterangan tersebut.
Menurut  A.V. Dicey dalam Negara hukum yang berintikan pada rule of lawterdapat syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan nilai dan norma dalam kehidupan sehari-hari, yaitu :
  1. Supremacy of the law, sehingga hukum diberi kedaulatan tertinggi, Negara tidak dapat dipermasalahkan atau dituntut, yang bisa dituntut adalah manusianya.
  2. Egality of the Law, artinya semua orang memiliki status yang sama di mata hukum. Dalam Negara berdasarkan hukum (rechtstaat) hukumlah yang berdaulat, sehingga Negara dapat dituntut di depan pengadilan jika melanggar hukum.
  3. Human Right, yaitu terjaminnya hak-hak asasi manusia dalam UU.
Referensi :

Tulisan 2

Nama      : Rina Wahyuni
Kelas      : 2eb22
Npm        : 25210973


Kasus Runway Bandara Syamsudin Noor, Dipertanyakan

BANJARMASIN, MINGGU - Penanganan lanjutan kasus dugaan korupsi belasan miliar rupiah pengembangan runway  (landasan pacu) Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin kembali dipertanyakan. "Harusnya penanganan kasus tersebut tidak berhenti setelah vonis bersalah terhadap Sampurno yang juga mantan Kasubdin Perhubungan Udara Dishub Kalsel," ucap tokoh LSM yang juga ketua Gerakan Indonesia (Gerindo) Kalimantan Selatan (Kalsel), Syamsul Daullah, di Banjarmasin,  Minggu (28/9). 
Selain Sampurno, masih ada yang berstatus tersangka serta beberapa orang yang diduga telibat dalam kasus runway tersebut. Dia berharap agar dalam penanganan kasus run way jangan terhenti cuma sampai mengadili satu orang yang dijadikan sebagai tumbal, tapi harus ditindaklanjuti hingga kelas kakap atau pejabat-pejabat atasannya baik yang sudah berstatus tersangka maupun diduga terlibat. 
 Begitu pula dengan kesediaan PT. Hutama Karya memperbaiki runway Bandara Syamsudin Noor yang tak sesuai sebagaimana mestinya, jangan membuat pengusutan kasus pidana terhenti. Karena kasus run way tersebut bersisi dua yaitu dari sudut pidana dan perdata disebabkan kelalaian pihak kontraktor, tapi tak ada ceritera, dengan selesainya masalah perdata, maka kasus hukum pidana, terbelih berupa tindak pidana korupsi juga dianggap selesai.
   Dalam kasus run way ini yang berstatus tersangka masing-masing mantan Sekda Kalsel, Ismet Ahmad (pensiun) dan mantan Kepala Dishub provinsi setempat, H.Helmi Indra Sangun, SH kini sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (BPMP) Kalsel. Sedangkan mereka yang diduga terlibat dari sejumlah pejabat eksekutif tingkat, selain mantan Gubernur Kalsel, H.M.Sjachrien Darham, juga mantan Kepala Dinas Kimpraswil, Seffek Effendi dan mantan Kepala Bappeda, Syarifuddin Basri. 
Sementara dari kalangan DPRD Kalsel yang diduga terlihat antara lain mantan Wakil Ketua H.Syamsuri Darham, H. Bachruddin Syarkawi, serta mantan Ketua Komisi D bidang pembangunan yang juga membidangi perhubungan, Misri dan mantan Ketua Komisi E bidang kesra yang juga membidangi keagamaan, Bastian Thaib.
Pengembangan Bandara Syamsudin Noor tersebut menelan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kalsel mencapai Rp123 miliar, dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai Embarkasi Haji Banjarmasin yang dimulai sejak musim haji tahun 2004.

Senin, 12 Maret 2012

Tugas 4


Nama           : Rina wahyuni
Kelas           : 2eb22
Npm            : 25210973

2. Hukum Perjanjian
o   Standart Kontrak
o   Macam macam Perjanjian
o   Syarat Sahnya Perjanjian
o   Saat Lahirnya Perjanjian
o   Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

·         Standart kontrak
    A.   Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
§  Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.

§  Kontrak standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
   B.   Menurut Remi Syahdeini, keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi:
§  Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
§  Subjek dan jangka waktu kontrak
§  Lingkup kontrak
§  Dasar-dasar pelaksanaan kontrak
§  Kewajiban dan tanggung jawab
§  Pembatalan kontrak

·         Macam-macam perjanjian
§  Berdasarkan waktunya, perjanjian kerja dibagi menjadi:
o   perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
o   pekerjaan waktu tidak tertentu (PKWTT)
§  Sedangan berdasarkan bentuknya, perjanjian kerja dibagi menjadi:
o   tertulis
o   lisan
·         Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
§  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

§  Cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
o   Orang-orang yang belum dewasa
o   Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
o   Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).
§  Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, makaperjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barangbarangyang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
§  suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. Misal:
o   Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
o   TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
o   TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
o   Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
o   Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untukkejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplieruntuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).

·         Saat Lahirnya Perjanjian
§  teori pernyataan
o   perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan.
o   perjanjian lahir sejak para pihak mengeluarkan kehendaknya secara lisan dan tertulis. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan perjanjian dianggap telah tercapai, apabila pernyataan yang dikeluarkan oleh suatu pihak diterima oleh pihak lain.
§  Teori Penawaran
o   bahwa perjanjian lahir pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). Apabila seseorang melakukan penawaran dan penawaran tersebut diterima oleh orang lain secara tertulis maka perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban secara tertulis dari pihak lawannya.

·         Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
  1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
  2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
  3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pembatalan Suatu Perjanjian
o   Pekerja meninggal dunia
o   Jangka waktu perjanjian kerja berakhir
o   Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
o   Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

 Referensi :

Tugas 3


Nama          : Rina wahyuni
Kelas          : 2eb22
Npm           : 25210973

      1. Hukum  Perdata
· Hukum perdata yang berlaku di Indonesia
· Sejarah singkat hukum perdata
· Pengertian dan keadaan hukum di Indonesia
· Sistematika hukum perdata di Indonesia 
  • Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Hukum adalah sekumpulan peraturan yang berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang sehingga dapat dipaksakan pemberlakuannya berfungsi untuk mengatur masyarakat demi terciptanya ketertiban disertai dengan sanksi bagi pelanggarnya Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukumdan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan  negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha  negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga memengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
§     Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

§         Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya  tanah bangunan  dan  kapal  dengan  berat  tertentu ); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.

§    Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadangdisebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.

§   Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
  • Sejarah Singkat Hukum Perdata 

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813) Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :

§  BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
§  WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
KUH Perdata

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat Belanda yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUH Perdata

KUHPerdata terdiri dari 4 bagian yaitu :
1.    Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
2.   Buku 2 tentang Benda / Zaakenrecht
3.   Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
4.   Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
  •  Pengertian dan Keadaan Hukum di Indonesia
Ø  Pengertian hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).  Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

     Ø Keadaan Hukum di Indonesia
Mengenai keadaan Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat kita katakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna.
Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
1) Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa.
2) Faktor Hostia Yuridis yang dapat kita lihay, yang pada pasal 163.I.S, yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
a. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
b. Golongan Bumi Putera (pribumi/bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
c. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
  •     Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
ü  SISTEMATIKA HUKUM PERDATA DALAM KUH PERDATA (BW) 
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku sebagai berikut : 1. Buku I, yang berjudul ”perihal orang” (van persoonen),  memuat hukum perorangan dan hukum kekeluargaan. 2. Buku II, yang berjudul ”perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda dan hukum waris. 3. Buku III, yang berjudul ”perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu. 4. Buku IV, yang berjudul ”perihal pembuktian dan kadaluarsa” (van bewijs en verjaring). 
ü SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN 
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu : 1. Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara lain mengatur tentang : a. Orang sebagai subjek hukum. b. Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan hak-haknya itu. 2. Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat antara lain : a. Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul didalamnya seperti hukum harta kekayaan suami dan istri. b. Hubungan hukum antara orangtua dan anak-anaknya atau kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). c. Perwalian (voogdij). d. Pengampunan (curatele). 3. Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi : a. Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang. b. Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja. 4. Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kakayaan seseorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.
Referensi :