Senin, 02 April 2012

Tulisan 3


Hawthorne merasa dirugikan : Merek Blue Star siapa yang punya ? 
    
Hawthorne Enterprises Limited, perusahaan berbasis di Cayman Island, tampaknya terusik dengan merek Blue Star Exchange, yang didaftarkan oleh orang Indonesia.
Perusahaan asing, yang juga berafilisasi dengan Giordano Limited, Hong Kong, merasa merk dagang Blue Starexchange yang sudah dibangun bertahun-tahun dengan biaya promosi dan investasi sangat besar di berbagai negara, persis sama dengan merek yang didaftarkan oleh Handy Butun, seorang pengusaha di Indonesia.
Hawthorne menilai merek dagangnya telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dengan cara membonceng ketenarannya. Tentu saja perusahaan itu merasa dirugikan. Kasus perselisihan kepemilikan merek dagang antara perusahaan asing dan lokal bukanlah yang pertama, bahkan sudah sangat sering orang asing harus berjuang di pengadilan hingga tahunan untuk mendapatkan pengakuan sebuah merek dagangnya yang dibajak di Indonesia.
Hampir semua pemilik merek dagang terkenal di dunia seperti Cartier, Prada, Louis Vution, Calvin Klein, Atienne Aigner, Christian Dior dan sejumlah merek terkenal lainnya pernah berurusan dengan pengadilan Indonesia karena merek dagang mereka dibajak oleh orang -orang yang tidak berhak. Memang pembajakan merek dagang bukan monopoli Indonesia saja, tapi juga terjadi di banyak negara. Bahkan di negara maju sekalipun masih ditemukan penjiplakan atau pendomplengan terhadap merek terkenal. Namun perkara Hawthorne ini semakin memperpanjang deretan kasus-kasus pembajakan merek dagang di Indonesia, sehingga citra Indonesia sebagai salah satu negara yang kurang memberikan perlindungan hukum bagi hak atas kekayaan intelektual (HaKI) makin buruk di mata dunia internasional.
Hawthorne, begitu juga perusahaan lain yang menghadapi masalah dengan mereknya, telah mengambil langkah-langkah hukum dengan cara menggugat pembatalan merek tersebut ke Pengadilan Niaga Jakarta. Kasus tersebut telah bergulir, saat ini dalam tahap pemeriksaan di Pengadilan Niaga Jakarta dengan tergugat Handy Butun. Tidak jelas apakah tergugat adalah seorang pengusaha yang memasarkan produk dengan menggunakan merek Blue Starexchange atau cuma sekadar mendaftarkan merek untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Satu hal yang pasti, merek Blue Starexchange juga terdaftar atas nama Handy Butun pada 10 Desember 2001 melalui No. 524424 untuk kelas 25. Kelas barang 25 mencakup segala macam barang konveksi yaitu pakaian pria/wanita dan anak-anak, baju sport, celana sport, celana dalam, celana jins, T-shirt, gaun daster dan lain-lain.

Bonceng ketenaran
Menurut Ludiyanto, kuasa hukum Hawthorne, tergugat memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan merek dagang tersebut. karena dia membonceng ketenaran merek Blue Starexchange milik kliennya. Memang belum jelas apakah tergugat menggunakan imajinasinya sendiri, atau memiliki itikad tidak baik membonceng ketenaran ketika menciptakan merek Blue Star Exchange yang memiliki persamaan dengan merek milik Hawthorne.
Hanya Handy Butunlah yang tahu. Tapi, jika sebuah merek dagang sudah terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, pemiliknya memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan menggunakannya di seluruh wilayah Indonesia. Lalu bagaimana dengan Hawthorne? Sistem hukum merek Indonesia menganut first to file. Artinya, siapa yang lebih dahulu mendaftarkan merek dagang, dialah yang berhak mendapatkan perlindungan hukum.
 Menurut Ludiyanto, Hawthorne sebenarnya lebih berhak atas merek dagang tersebut, karena perusahaan itulah yang mendaftarkan untuk pertamakalinya Blue Starexchange di Indonesia. Perusahaan asing itu, ujarnya, telah lebih dahulu mendaftarkan Blue Starexchange di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Hawthorne konon mendaftarkan merek itu pada 25 April 2001 melalui registrasi No. 501166 pada 25 April 2001 untuk kelas 18. Kelas barang 18 mencakup antara lain benda-benda yang terbuat dari kulit atau imitasi, tas, kopor, dompet, dan lain-lain.
Perusahaan dari Cayman Island itu juga mendaftarkan merek yang sama untuk barang kelas 35 seperti jasa eceran untuk pakaian, alas kaki, jasa pemesanan melalui internet, jasa bisnis manajemen dan lain-lain. Sedangkan untuk barang kelas 25 didaftarkan untuk barang pakaian, alas kaki dan penutup kepala. Sampai di sini tidak ada masalah. Tapi, baru muncul perkara setelah Hawthorne melakukan penelusuran dan pengecekan ternyata merek yang sama juga terdaftar atas nama Handy Butun, yang mendaftarkan merek Blue Star Exchange pada 10 Desember 2001 untuk barang kelas 25. Dari segi pengucapan memang ada persamaan bunyinya antara merek yang didaftarkan oleh Hawthorne dan Handy Butun.
Namun, ada perbedaaan dari segi susunan katanya. Hawthorne menggunakan merek Blue Starexchange (dua suku kata), sedangkan Handy Butun Blue Star Exchange (tiga suku kata). Menurut Ludiyanto, kata/kalimat Blue Star Exchange milik Handy Butun bukanlah kata yang lazim digunakan dalam pergaulan/percakapan bahasa Indonesia, sehingga tidak rasional apabila kemudian tergugat, yang notabene seorang warga negara Indonesia, mengklaim merek Blue Star Exchange sebagai hasil imajinasinya.
Merek tergugat itu, tambahnya, memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek penggugat baik dari segi pengucapannya maupun susunan dan karakter kata. "Blue Star Exchange milik Handy Butun merupakan penjiplakan/peniruan dari peniruan merek Blue Starexchange milik Hawthorne," katanya. Selain di Indonesia, Hawthorne juga telah mendapatkan perlindungan hukum atas merek dagang tersebut di banyak negara antara lain Brunei Darussalam, China, Jerman, Hong Kong, Korsel, Makau, Saudi Arabia, Taiwan, Thailand dan Uni Emirat Arab.
Kelabui pengadilan?
Namun semua tuduhan yang dialamatkan kepada Handy Butun tersebut dibantah oleh kuasa hukumnya John H Waliry. "Gugatan penggugat tidak dapat diterima," kata John dalam dokumen pembelaannya pada pertengahan pekan lalu. Menurut John, gugatan Hawthorne itu kabur. "Penggugat menyatakan mereknya terkenal, namun alasan dan atau kriteria keterkenalan merek Blue Starexchange itu tidak didalilkan," katanya.
Penggugat, menurut dia, berusaha untuk mengelabui pengadilan dengan membuat dalil seolah-oleh Hawthorne adalah pendaftar pertama di Indonesia atas merek dagang Blue Starexchange. Seandainya penggugat merupakan pendaftar pertama merek itu untuk barang kelas 25, ujarnya, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM tentu menolak permohonan pendaftaran merek Blue Star Exchange yang diajukan oleh Handy Butun. Ternyata permohonan pendaftaran merek Blue Star Exchange untuk barang kelas 25, katanya, dikabulkan oleh Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM.
Dalil penggugat yang menyebutkan pendaftaran merek dagang milik kliennya di banyak negara telah memberi kesan suatu merek terkenal, menurut dia, tidak dapat diterima. "Kenyataannya, suatu merek yang sekalipun terdaftar di beberapa negara belum tentu dikenal oleh masyarakat karena pendaftaran itu merupakan tahap awal untuk memulai usaha. Suatu merek yang terdaftar di banyak negara belum tentu dapat dikategorikan sebagai merek terkenal," tambahnya.
Penggugat yang mendalilkan Blue Star adalah sebuah merek dagang tekenal, katanya, harus ditolak oleh pengadilan karena hingga kini belum ada definisi baku soal merek terkenal.John mengutip penjelasan Pasal 6(1) huruf b UU Merek. "Untuk dapat dikatakan sebagai merek terkenal haruslah memperhatikan pengetahuan umum masyarakat pada saat itu mengenai merek tersebut di bidang yang bersangkutan."Pada saat Hawthorne mendaftarkan merek dagang Blue Star, tambahnya, belum banyak masyarakat yang mengenal merek itu, sehingga pada saat tergugat mendaftarkan mereknya belum dapat dikatakan sebagai merek terkenal.
Jika penggugat merasa bahwa merek dagangnya terkenal, katanya, menurut Undang Undang Merek seharusnya dia menggunakan hak prioritas pendaftaran di Indonesia dalam rentang waktu selama enam bulan sejak terdaftarnya merek itu di negara asalnya. "Kesempatan untuk memanfaatkan hak prioritas tersebut tidak digunakan oleh Hawthorne," tandasnya. Menyinggung penggunaan kata Blue Star Exchange yang dinilai tidak lazim di Indonesia, menurut dia argumentasi itu tidak bisa diterima dan pengadilan pun harus menolaknya. "Meskipun tergugat seorang warga negara Indonesia, dia tetap dapat menciptakan suatu penamaan hasil dari imajinasinya yang tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Inggris." Di era globalisasi, menurut praktisi hukum itu, bahasa Inggris sudah lazim dipakai dalam kegiatan bisnis maupun perdagangan di Indonesia apalagi orientasi produk buatan tergugat Handy Butun adalah untuk tujuan ekspor.
Alhasil, genderang perang antara Hawthorne dan Handy Butun untuk menentukan siapa sebenarnya yang berhak atas merek dagang Blue Starexchange sudah dimulai. Masing-masing kuasa hukumnya sudah mengemukakan dalil-dalil dan fakta-fakta hukum ke muka persidangan. Siapa yang lebih berhak atas merek dagang itu, akan tergantung pada keputusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta. Hakim hendaknya dengan bijak membuat keputusan dengan membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang benar-benar profesional, sehingga putusannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Referensi:
http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1113176425&1




Tidak ada komentar:

Posting Komentar