Hawthorne merasa dirugikan : Merek Blue Star siapa yang punya
?
Hawthorne Enterprises Limited, perusahaan berbasis di Cayman
Island, tampaknya terusik dengan merek Blue Star Exchange, yang didaftarkan
oleh orang Indonesia.
Perusahaan asing, yang juga berafilisasi dengan Giordano Limited,
Hong Kong, merasa merk dagang Blue Starexchange yang sudah dibangun
bertahun-tahun dengan biaya promosi dan investasi sangat besar di berbagai
negara, persis sama dengan merek yang didaftarkan oleh Handy Butun, seorang
pengusaha di Indonesia.
Hawthorne menilai merek dagangnya telah dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu dengan cara membonceng ketenarannya. Tentu saja perusahaan
itu merasa dirugikan. Kasus perselisihan kepemilikan merek dagang antara
perusahaan asing dan lokal bukanlah yang pertama, bahkan sudah sangat sering
orang asing harus berjuang di pengadilan hingga tahunan untuk mendapatkan
pengakuan sebuah merek dagangnya yang dibajak di Indonesia.
Hampir semua pemilik merek dagang terkenal di dunia seperti
Cartier, Prada, Louis Vution, Calvin Klein, Atienne Aigner, Christian Dior dan
sejumlah merek terkenal lainnya pernah berurusan dengan pengadilan Indonesia
karena merek dagang mereka dibajak oleh orang -orang yang tidak berhak. Memang
pembajakan merek dagang bukan monopoli Indonesia saja, tapi juga terjadi di
banyak negara. Bahkan di negara maju sekalipun masih ditemukan penjiplakan atau
pendomplengan terhadap merek terkenal. Namun perkara Hawthorne ini semakin
memperpanjang deretan kasus-kasus pembajakan merek dagang di Indonesia,
sehingga citra Indonesia sebagai salah satu negara yang kurang memberikan
perlindungan hukum bagi hak atas kekayaan intelektual (HaKI) makin buruk di
mata dunia internasional.
Hawthorne, begitu juga perusahaan lain yang menghadapi masalah
dengan mereknya, telah mengambil langkah-langkah hukum dengan cara menggugat
pembatalan merek tersebut ke Pengadilan Niaga Jakarta. Kasus tersebut telah
bergulir, saat ini dalam tahap pemeriksaan di Pengadilan Niaga Jakarta dengan
tergugat Handy Butun. Tidak jelas apakah tergugat adalah seorang pengusaha yang
memasarkan produk dengan menggunakan merek Blue Starexchange atau cuma sekadar
mendaftarkan merek untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Satu hal yang pasti, merek Blue Starexchange juga terdaftar atas
nama Handy Butun pada 10 Desember 2001 melalui No. 524424 untuk kelas 25. Kelas
barang 25 mencakup segala macam barang konveksi yaitu pakaian pria/wanita dan
anak-anak, baju sport, celana sport, celana dalam, celana jins, T-shirt, gaun
daster dan lain-lain.
Bonceng ketenaran
Menurut Ludiyanto, kuasa hukum Hawthorne, tergugat memiliki itikad
tidak baik dalam mendaftarkan merek dagang tersebut. karena dia membonceng
ketenaran merek Blue Starexchange milik kliennya. Memang belum jelas apakah
tergugat menggunakan imajinasinya sendiri, atau memiliki itikad tidak baik
membonceng ketenaran ketika menciptakan merek Blue Star Exchange yang memiliki
persamaan dengan merek milik Hawthorne.
Hanya Handy Butunlah yang tahu. Tapi, jika sebuah merek dagang
sudah terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM,
pemiliknya memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi dan menggunakannya di
seluruh wilayah Indonesia. Lalu bagaimana dengan Hawthorne? Sistem hukum merek
Indonesia menganut first to file. Artinya, siapa yang lebih dahulu mendaftarkan
merek dagang, dialah yang berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Menurut Ludiyanto,
Hawthorne sebenarnya lebih berhak atas merek dagang tersebut, karena perusahaan
itulah yang mendaftarkan untuk pertamakalinya Blue Starexchange di Indonesia. Perusahaan
asing itu, ujarnya, telah lebih dahulu mendaftarkan Blue Starexchange di Ditjen
Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Hawthorne konon mendaftarkan
merek itu pada 25 April 2001 melalui registrasi No. 501166 pada 25 April 2001
untuk kelas 18. Kelas barang 18 mencakup antara lain benda-benda yang terbuat
dari kulit atau imitasi, tas, kopor, dompet, dan lain-lain.
Perusahaan dari Cayman Island itu juga mendaftarkan merek yang
sama untuk barang kelas 35 seperti jasa eceran untuk pakaian, alas kaki, jasa
pemesanan melalui internet, jasa bisnis manajemen dan lain-lain. Sedangkan
untuk barang kelas 25 didaftarkan untuk barang pakaian, alas kaki dan penutup
kepala. Sampai di sini tidak ada masalah. Tapi, baru muncul perkara setelah
Hawthorne melakukan penelusuran dan pengecekan ternyata merek yang sama juga
terdaftar atas nama Handy Butun, yang mendaftarkan merek Blue Star Exchange
pada 10 Desember 2001 untuk barang kelas 25. Dari segi pengucapan memang ada
persamaan bunyinya antara merek yang didaftarkan oleh Hawthorne dan Handy
Butun.
Namun, ada perbedaaan dari segi susunan katanya. Hawthorne
menggunakan merek Blue Starexchange (dua suku kata), sedangkan Handy Butun Blue
Star Exchange (tiga suku kata). Menurut Ludiyanto, kata/kalimat Blue Star
Exchange milik Handy Butun bukanlah kata yang lazim digunakan dalam pergaulan/percakapan
bahasa Indonesia, sehingga tidak rasional apabila kemudian tergugat, yang
notabene seorang warga negara Indonesia, mengklaim merek Blue Star Exchange
sebagai hasil imajinasinya.
Merek tergugat itu, tambahnya, memiliki persamaan pada pokoknya
dengan merek penggugat baik dari segi pengucapannya maupun susunan dan karakter
kata. "Blue Star Exchange milik Handy Butun merupakan penjiplakan/peniruan
dari peniruan merek Blue Starexchange milik Hawthorne," katanya. Selain di
Indonesia, Hawthorne juga telah mendapatkan perlindungan hukum atas merek
dagang tersebut di banyak negara antara lain Brunei Darussalam, China, Jerman,
Hong Kong, Korsel, Makau, Saudi Arabia, Taiwan, Thailand dan Uni Emirat Arab.
Kelabui pengadilan?
Namun semua tuduhan yang dialamatkan kepada Handy Butun tersebut
dibantah oleh kuasa hukumnya John H Waliry. "Gugatan penggugat tidak dapat
diterima," kata John dalam dokumen pembelaannya pada pertengahan pekan
lalu. Menurut John, gugatan Hawthorne itu kabur. "Penggugat menyatakan
mereknya terkenal, namun alasan dan atau kriteria keterkenalan merek Blue
Starexchange itu tidak didalilkan," katanya.
Penggugat, menurut dia, berusaha untuk mengelabui pengadilan
dengan membuat dalil seolah-oleh Hawthorne adalah pendaftar pertama di
Indonesia atas merek dagang Blue Starexchange. Seandainya penggugat merupakan
pendaftar pertama merek itu untuk barang kelas 25, ujarnya, Ditjen Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Hukum dan HAM tentu menolak permohonan pendaftaran merek
Blue Star Exchange yang diajukan oleh Handy Butun. Ternyata permohonan
pendaftaran merek Blue Star Exchange untuk barang kelas 25, katanya, dikabulkan
oleh Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM.
Dalil penggugat yang menyebutkan pendaftaran merek dagang milik
kliennya di banyak negara telah memberi kesan suatu merek terkenal, menurut
dia, tidak dapat diterima. "Kenyataannya, suatu merek yang sekalipun
terdaftar di beberapa negara belum tentu dikenal oleh masyarakat karena
pendaftaran itu merupakan tahap awal untuk memulai usaha. Suatu merek yang
terdaftar di banyak negara belum tentu dapat dikategorikan sebagai merek
terkenal," tambahnya.
Penggugat yang mendalilkan Blue Star adalah sebuah merek dagang
tekenal, katanya, harus ditolak oleh pengadilan karena hingga kini belum ada
definisi baku soal merek terkenal.John mengutip penjelasan Pasal 6(1) huruf b
UU Merek. "Untuk dapat dikatakan sebagai merek terkenal haruslah
memperhatikan pengetahuan umum masyarakat pada saat itu mengenai merek tersebut
di bidang yang bersangkutan."Pada saat Hawthorne mendaftarkan merek dagang
Blue Star, tambahnya, belum banyak masyarakat yang mengenal merek itu, sehingga
pada saat tergugat mendaftarkan mereknya belum dapat dikatakan sebagai merek
terkenal.
Jika penggugat merasa bahwa merek dagangnya terkenal, katanya,
menurut Undang Undang Merek seharusnya dia menggunakan hak prioritas
pendaftaran di Indonesia dalam rentang waktu selama enam bulan sejak
terdaftarnya merek itu di negara asalnya. "Kesempatan untuk memanfaatkan
hak prioritas tersebut tidak digunakan oleh Hawthorne," tandasnya. Menyinggung
penggunaan kata Blue Star Exchange yang dinilai tidak lazim di Indonesia,
menurut dia argumentasi itu tidak bisa diterima dan pengadilan pun harus
menolaknya. "Meskipun tergugat seorang warga negara Indonesia, dia tetap
dapat menciptakan suatu penamaan hasil dari imajinasinya yang tidak hanya dalam
bahasa Indonesia, tapi juga dalam bahasa Inggris." Di era globalisasi,
menurut praktisi hukum itu, bahasa Inggris sudah lazim dipakai dalam kegiatan
bisnis maupun perdagangan di Indonesia apalagi orientasi produk buatan tergugat
Handy Butun adalah untuk tujuan ekspor.
Alhasil, genderang perang antara Hawthorne dan Handy Butun untuk
menentukan siapa sebenarnya yang berhak atas merek dagang Blue Starexchange
sudah dimulai. Masing-masing kuasa hukumnya sudah mengemukakan dalil-dalil dan
fakta-fakta hukum ke muka persidangan. Siapa yang lebih berhak atas merek
dagang itu, akan tergantung pada keputusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta. Hakim
hendaknya dengan bijak membuat keputusan dengan membuat
pertimbangan-pertimbangan hukum yang benar-benar profesional, sehingga
putusannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Referensi:
http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1113176425&1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar